Total Tayangan Halaman

Minggu, 17 Juli 2011

BUNUH DIRI PADA KLIEN GANGGUAN JIWA

FAKTOR-FAKTOR RISIKO PERILAKU MENCEDERAI DIRI: BUNUH DIRI PADA KLIEN GANGGUAN JIWA DI RUMAH SAKIT JIWA



LATAR BELAKANG

Bunuh diri merupakan kedaruratan psikiatri karena merupakan perilaku untuk mengakhiri kehidupannya (Stuart dan Laraia, 1998). Alasan individu mengakhiri kehidupan adalah: 1) kegagalan untuk beradaptasi, sehingga tidak dapat menghadapi stress, 2) perasaan terisolasi, dapat terjadi karena kehilangan hubungan interpersonal/ gagal melakukan hubungan yang berarti, 3) perasaan marah/ bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan hukuman pada diri sendiri, 4) cara untuk mengakhiri keputusasaan, 5) tangisan minta tolong. Selain itu adanya stigma masyarakat bahwa kecendrungan bunuh diri adalah karena keturunan (Keliat, 1993). Dimana individu tersebut oleh masyarakat sudah dicap dan tidak perlu ditolong. Penyebab perilaku bunuh diri pada individu gangguan jiwa karena stress yang tinggi dan kegagalan mekanisme koping yang digunakan dalam mengatasi masalah (Keliat, 1993).

Penelitian Black dan Winokur (1990) bahwa lebih dari 90% tiap menit individu yang mengalami gangguan jiwa melakukan bunuh diri (Stuart dan Laraia, 1998). Dan lebih dari 90% orang dewasa dengan gangguan jiwa mengakhiri hidup dengan bunuh diri (Stuart dan Sundeen, 1995).

Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 1995 bahwa 185 dari 1000 anggota rumah tangga mengalami gangguan jiwa dengan angka bunuh diri 1,6 sampai dengan 1,8 per 100.000 penduduk (Panggabean, 2003). Sedangkan penelitian yang dilakukan Westa (1996) bahwa percobaan bunuh diri di Unit Gawat Darurat RS Sanglah Bali pada individu gangguan jiwa terbanyak adalah dewasa muda, wanita dan alat yang digunakan untuk usaha bunuh diri adalah zat pembasmi serangga (http://members.tripod.com/~cyberpsy/P13.htm).

RS X merupakan rumah sakit jiwa yang merupakan rumah sakit rujukan jiwa tingkat nasional. Hasil studi dokumentasi ditemukan bahwa belum ada dokumentasi tentang faktor risiko perilaku mencederai diri: bunuh diri pada klien gangguan jiwa. Sedangkan hasil wawancara didapatkan bahwa belum pernah dilakukan penelitian tentang faktor risiko perilaku mencederai diri: bunuh diri pada klien gangguan jiwa di RS Jiwa X.


TUJUAN PENELITIAN

Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menguraikan faktor-faktor risiko perilaku mencederai diri: bunuh diri pada klien gangguan jiwa di rumah sakit jiwa.

Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi psikososial dan klinik (usia, jenis kelamin, pendidikan, status pernikahan, suku bangsa, metode) klien gangguan jiwa
2. Mengidentifikasi diagnostik (jenis/riwayat diagnosa medis, terapi pengobatan) klien gangguan jiwa
3. Mengidentifikasi riwayat keluarga dan (percobaan bunuh diri, riwayat keluarga) klien gangguan jiwa

Pertanyaan Penelitian
Bagaimana gambaran faktor-faktor risiko perilaku mencederai diri: bunuh diri pada klien gangguan jiwa di RS Jiwa X ?


BAHAN DAN CARA KERJA



Kerangka Penelitian
Faktor-faktor risiko perilaku mencederai diri: bunuh diri pada klien gangguan jiwa merupakan variabel yang diukur meliputi: 1) psikososial dan klinik (usia, jenis kelamin, pendidikan, status pernikahan, suku bangsa, metode), 2) riwayat (percobaan bunuh diri, riwayat keluarga), 3) diagnostik (jenis/riwayat diagnosa medis, terapi pengobatan) (Stuart dan Sundeen, 1995; Townsend, 1996; Stuart dan Laraia, 1998; Rawlin dan Heacock, 1993). Sedangkan data dasar diambil adalah klien yang dirawat di RS Jiwa yaitu : pernah melakukan percobaan bunuh diri di rumah dan berisiko berulang melakukan perilaku mencederai diri: bunuh diri di RS Jiwa.

Rancangan Penelitian
Penelitian adalah penelitian survei dengan metode kuantitatif, menggunakan rancangan cross sectional (Creswell, 1994).

Populasi dan Sampel
Populasi total adalah semua klien gangguan jiwa baik laki-laki dan perempuan dengan perilaku mencederai diri: bunuh diri yang dirawat di ruang rawat Inap RS Jiwa X sebanyak 27 orang (Maret s/d Juni 2004), dengan kriteria: 1) ada riwayat pernah melakukan percobaan bunuh diri di rumah, 2) mampu berkomunikasi, 3) tidak sedang mengalami halusinasi dan perilaku kekerasan saat dilakukan penelitian, 4) usia ≥ 20 tahun, 5) mendapatkan terapi pengobatan medis yang sama (CPZ, HLP, THP), dan 6) diagnosa medis: Skizofrenia dan Psikosis.

Pengumpulan Data
Instrumen pengumpulan data berupa kuesioner yang meliputi data primer dan data sekunder yang dibuat peneliti sendiri, terdiri dari 1) psikososial dan klinik (usia, jenis kelamin, pendidikan, status pernikahan, suku bangsa, metode), 2) riwayat (percobaan bunuh diri, riwayat keluarga), 3) diagnostik (jenis/riwayat diagnosa medis, terapi pengobatan) (Stuart dan Sundeen, 1995; Townsend, 1996; Stuart dan Laraia, 1998).

Pengolahan dan Analisis data
Pengolahan data yang dilakukan dengan menggunakan komputer melalui tahapan editing, coding, entri dan cleaning. Setelah data siap dilanjutkan dengan analisis univariat untuk mengidentifikasi masing-masing variabel dengan bentuk tampilan distribusi frekuensi.


HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian terhadap 27 klien gangguan jiwa di RS Jiwa X disajikan sesuai dengan tujuan penelitian.

A. Psikososial dan Klinik

Tabel 1.
Distribusi Responden menurut Psikososial dan Klinik Klien Gangguan Jiwa di RS Jiwa X
(n = 27)



Hampir sama jumlah responden penelitian ini yang laki-laki mapun perempuan, namun lebih banyak klien berusia < 30 tahun (66,7%) dibandingkan berusia > 30 tahun (33,3%). Sebagian besar responden adalah 51,9% berpendidikan SMU, 77,8% belum menikah, 40,7% suku Sunda dan 55,6 % metode yang digunakan adalah lain-lain yaitu sebanyak: 5 orang membenturkan kepala; 5 orang minum obat tidur; 2 orang menceburkan ke sumur; 1 orang menabrakkan diri ke jalan; 1 orang membakar diri dan 1 orang menelan peniti.

B. Diagnostik
Tabel 2 menunjukkan lebih banyak klien gangguan jiwa dengan diagnosa medis Skizofrenia (92,6%) dan terapi pengobatan yang didapatkan klien adalah clorpromazine, haloperidol dan triheksilfenidil (81,5%).

Tabel 2.
Distribusi Responden menurut Diagnostik Klien Gangguan Jiwa di RS Jiwa X (n = 27)



C. Riwayat
Sebagian besar responden yang dirawat di RS Jiwa X berisiko berulang melakukan perilaku mencederai diri: bunuh diri adalah sudah pernah melakukan percobaan bunuh diri sebanyak < 3 kali (81,5%). Namun berdasarkan riwayat keluarga bahwa tidak ada anggota keluarga yang melakukan bunuh diri sama dengan responden (92,6%), tapi hanya 7,4% keluarga yang melakukan perilaku mencederai diri: bunuh diri dengan menggunakan metode bunuh diri yaitu membenturkan kepala (hubungan dengan klien/ responden adalah 1 orang ibu dan 1 orang adik).

Tabel 3.
Distribusi Responden menurut Riwayat Klien Gangguan Jiwa di RS Jiwa X (n = 27)




PEMBAHASAN

Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri kehidupan. Perilaku bunuh diri yang tampak pada seseorang disebabkan karena stress yang tinggi dan kegagalan mekanisme koping yang digunakan dalam mengatasi masalah (Keliat, 1993). Perilaku bunuh diri atau destruktif diri langsung terjadi terus menerus dan intensif pada diri kehidupan seseorang. Perilaku yang tampak adalah berlebihan, gejala atau ucapan verbal ingin bunuh diri, luka atau nyeri (Rawlin dan Heacock, 1993).

Penelitian yang dilakukan oleh Black dan Winokur (1990) bahwa lebih dari 90% tiap menit individu yang mengalami gangguan jiwa melakukan bunuh diri (Stuart dan Laraia, 1998). Dimana faktor risiko penyebab perilaku mencederai diri: bunuh diri pada klien gangguan jiwa meliputi: 1) psikososial dan klinik 2) riwayat 3) diagnostik (Stuart dan Sundeen, 1995; Stuart dan Laraia, 1998).

Sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan di RS Jiwa X tahun 2004 tentang faktor-faktor risiko perilaku mencederai diri: bunuh diri pada klien gangguan jiwa adalah: 1) psikososial dan klinik klien gangguan jiwa sebagian besar (66,7%) berusia < 30 tahun, jenis kelamin hampir sama untuk laki-laki dan perempuan, pendidikan SMU/sederajat, 77,8% belum menikah, 40,7% suku Sunda dan 55,6 % metode yang digunakan adalah lain-lain yaitu sebanyak: 5 orang membenturkan kepala; 5 orang minum obat tidur; 2 orang menceburkan ke sumur; 1 orang menabrakkan diri ke jalan; 1 orang membakar diri dan 1 orang menelan peniti; 2) diagnostik klien gangguan jiwa adalah sebagian besar (92,6%) diagnosa medis Skizofrenia; dan 3) riwayat klien gangguan jiwa sebagian besar (81,5%) percobaan bunuh diri yang pernah dilakukan sebanyak < 3 kali, dan 92,6% tidak ada anggota keluarga yang pernah melakukan percobaan bunuh diri. Tetapi sebagian kecil metode yang dilakukan untuk bunuh diri pada keluarga adalah membenturkan kepala sebanyak 2 orang (7,4%) yaitu 1 orang ibu dan 1 orang adik.

Penelitian yang dilakukan Westa (1996) bahwa dari 104 kasus klien gangguan jiwa (31 orang laki-laki dan 73 orang perempuan) di Unit gawat darurat RSUP Sanglah Denpasar-Bali didapatkan terbanyak adalah golongan dewasa muda, pendidikan SLTP-SLTA, belum menikah, masalah hubungan interpersonal, dan keluarga sebagai faktor pencetus terbanyak. Sedangkan zat/alat (metode) yang digunakan untuk usaha bunuh diri obat pembasmi serangga (http://members.tripod.com/~cyberpsy/P13.htm).

Jika melihat perbandingan hasil penelitian di RS Jiwa X (2004) dan Westa (1996) maka perilaku mencederai diri: bunuh diri pada klien gangguan sangat membahayakan dan berdampak pada produktivitas. Hal ini dapat dilihat dari cara atau metode yang digunakan dalam melakukan bunuh diri langsung dapat menyebabkan kematian dan ditemukannya usia yang produktif (< 30 tahun), masih berstatus pelajar serta belum menikah. Berdasarkan Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 1995 bahwa 185 dari 1000 anggota rumah tangga mengalami gangguan jiwa dengan angka bunuh diri 1,6 sampai dengan 1,8 per 100.000 penduduk (Panggabean, 2003).

Untuk itu maka bunuh diri dalam ilmu keperawatan jiwa merupakan kedaruratan psikiatri karena merupakan perilaku untuk mengakhiri kehidupannya (Stuart dan Laraia, 1998). Alasan klien mengakhiri kehidupannya karena: 1) merasa gagal dalam beradaptasi dan tidak dapat menghadapi stress, 2) merasa terisolasi karena gagal berhubungan dengan orang lain, 3) perasaan marah/ bermusuhan 4) putus asa. Hal ini didukung dengan hasil penelitian yaitu adanya cemas tinggi, tidak berdaya, kurang mampu melakukan ADL, tidak ada orang penting dekat, pernah melakukan percobaan bunuh diri.

Hal lain yang juga sangat mendukung tentang perilaku klien gangguan jiwa yang melakukan perilaku mencederai bunuh diri dari segi medis adalah berdasarkan DSM-III-R conditions bahwa diagnosis medis perilaku bunuh diri pada klien gangguan jiwa salah satunya skizofrenia (Rawlin dan Heacock, 1993). Murphy (1994) menyatakan bahwa pada klien gangguan jiwa sebagian besar adalah dengan diagnosis Skizofrenia (Stuart dan Sundeen, 1995).



KESIMPULAN

Sebagian besar faktor-faktor risiko perilaku mencederai diri: bunuh diri yaitu terjadi pada : 1) remaja dan dewasa muda; 2) laki-laki; 3) SMU; 4) belum menikah; 5) suku sunda; 6) metode yang digunakan untuk bunuh diri adalah minum obat serangga, membenturkan kepala, minum obat tidur, menceburkan ke sumur, menabrakkan diri ke jalan, membakar diri dan menelan peniti, 7) diagnostiknya adalah Skizofrenia. Percobaan bunuh diri yang dilakukan oleh klien lebih dari 1 kali.



REKOMENDASI

q Perlunya kewaspadaan dan penanganan secara intensif pada klien perilaku mencederai diri: bunuh diri, yaitu perlindungan bagi klien (menjauhkan dari hal-hal/benda-benda yang memudahkan klien untuk bunuh diri)
q Perlunya peningkatan pengetahuan dan kemampuan perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien bunuh diri.
q Perlunya pendekatan khusus pada klien bunuh diri, misalnya dengan membina hubungan saling percaya antara perawat dan klien sehingga klien mau menceritakan permasalahannya dan perawat dapat mencarikan jalan keluarnya
q Perlunya meningkatkan dukungan sosial seperti keluarga, teman dekat dan lain-lainnyanya
q Perlunya penyediaan hotline service, home care atau pelayanan 24 jam
q Perlunya penelitian lanjutan berupa penelitian kualitatif untuk mempertajam hasil penelitian yang telah dilakukan



DAFTAR PUSTAKA

Creswell, J.W. (1994). Research design qualitative and quantitative approach. USA: Sage Publications Inc.

Keliat, B.A. (1993). Seri keperawatan: tingkah laku bunuh diri. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Panggabean, L. (2003). Pengembangan kesehatan perkotaan ditinjau dari aspek psikossosial. (makalah). Direktorat Kesehatan Jiwa Masyarakat DepKes. Rs. Tidak dipublikasikan.

Stuart, G.W., and Laraia, M.T. (1998). Principles and practice of psychiatric nursing. Fifth edition. St. Louis: Mosby Year Book.

Stuart, G.W., and Sundeen, S.J. (1995). Principles and practice of psychiatric nursing. Sixth edition. St. Louis: Mosby Year Book.

Stuart, G.W., and Sundeen, S.J. (1995). Buku saku keperawatan jiwa. (edisi Indonesia). Jakarta: EGC.

Rawlin, R.P., and Heacock, P.E. (1993). Clinical manual of psychiatric nursing. Second edition. St. Louis: Mosby Year Book.

Townsend, M.C. (1996). Psychiatric mental health nursing: concepts of care. Second edition. Philadelphia: F.A. Davis Company.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar