Total Tayangan Halaman

Minggu, 17 Juli 2011

PARADIGMA DALAM PSIKOPATOLOGI DAN TERAPI

Menurut Thomas Kuhn, paradigma dapat didefinisikan sebagai kerangka konseptual atau model yang dengannya seorang ilmuwan bekerja (a conceptual framework or model within which a scientist works). Ia adalah seperangkat asumsi-asumsi dasar yang menggariskan semesta partikular dari penemuan ilmiah, menspesifikasi beragam konsep-konsep yang dapat dianggap absah maupun metode-metode yang dipergunakan untuk mengumpulkan dan menginterpretasikan data. Tegasnya, setiap keputusan tentang apa yang menyusun data atau observasi ilmiah dibuat dalam bangun suatu paradigma.
Sejak awal penyelidikan ilmiah tentang perilaku abnormal dimulai, terdapat dua sudut pandang utama yang berkembang: (1) somatogenik, yang berasumsi bahwa setiap keterbelakangan mental disebabkan oleh suatu ketidakberfungsian fisik; dan (2) psikogenik, yang berasumsi bahwa penderita sakit yang tidak bermasalah atau sukar dipahami secara fisik harus dijelaskan dalam terma-terma psikologis.
Psikologi abnormal kontemporer mengenal setidaknya lima paradigma atau model utama, yaitu: (1) fisiologis; (2) psikoanalitis; (3) pembelajaran; (4) kognitif; dan (5) humanistis.
Paradigma fisiologis (physiological paradigm) biasanya mengarah pada model penyakit atau medis (medical or disease model). Maher mengatakan, “perilaku menyimpang diistilahkan sebagai patologi dan diklasifikasikan berdasarkan symptom, dimana pengklasifikasiannya disebut diagnosis. Proses-proses yang didesain untuk mengubah perilaku tersebut disebut terapi dan diaplikasikan kepada pasien di rumah sakit jiwa (mental hospitals). Jika perilaku menyimpangnya hilang, pasien bisa dinyatakan sebagai sembuh (cured).”
Dalam paradigma medis ini, perilaku abnormal diserupakan dengan suatu penyakit. Awalnya, penyakit hanya dipahami sebagai sekedar tanda-tanda atau symptom yang teramati, tetapi sejak muncul germ theory dari Louis Pasteur, penyakit dijelaskan sebagai akibat dari infeksi sejenis organisme atau virus. Sekalipun kemudian diketahui bahwa tidak semua jenis penyakit bisa dijelaskan dengan menggunakan teori benih tersebut. Tetapi dalam paradigma ini, semua penyakit yang terjadi dibaca sebagai gangguan-gangguan dari proses fisiologis tubuh.
Paradigma psikoanalisis bisa dikatakan paling populer dalam bidang psikopatologi dan terapi. Sigmund Freud (1856-1939) yang dianggap sebagai bapak psikoanalisa membagi jiwa kedalam tiga bagian prinsipil, yaitu: id, ego, dan superego. Id hadir sejak kelahiran manusia yang menjadi bagian dari kepribadian yang membangun semua energi yang menggerakkan jiwa. Id memiliki dua insting, yaitu Eros dan Thanatos. Eros adalah kekuatan integratif hidup yang disebut libido atau energi seksual yang bergerak di atas prinsip kesenangan (pleasure principle). Ketika memasuki usia enam bulan, bagian kedua kepribadian tumbuh dalam diri manusia yang disebut ego. Tugas utamanya adalah berhubungan dengan realitas melalui fungsi-fungsi perencanaan dan membuat keputusan. Jadi, ego bergerak di atas prinsip kenyataan (reality principle). Bagian ketiga dari kepribadian adalah superego yang membawa standar moral masyarakat. Superego berkembang melalui resolusi dari konflik oedipal yang secara umum hal ini ekuivalen dengan apa yang disebut sebagai nurani atau kata hati (conscience).
Melalui studinya bersama Breuer, Freud menemukan bahwa ego pada dasarnya bersifat sadar (conscious), sekalipun ia juga memiliki aspek ketidaksadaran yang disebutnya mekanisme bertahan (defense mechanism) untuk melindungi diri dari kecemasan (anxiety). Freud menilai bahwa sebagian besar faktor determinan yang penting dalam perilaku bersifat tidak tersadari (unconscious). Freud memandang kepribadian manusia sebagai suatu sistem energi tertutup dimana di dalamnya bertarung ketiga bagiannya untuk memperebutkan bagian dari energi yang ada. Pemikiran Freud juga sangat bersifat deterministik, sampai-sampai keseleo lidah (slips of the tongue) dibaca sebagai akibat dari suatu sebab spesifik dari ketidaksadaran.
Freud mengenalkan beberapa macam jenis kecemasan. Pertama ia mengemukakan tentang neurotic anxiety yang muncul dari terhambatnya impuls-impuls ketidaksadaran. Karena adanya represi itulah, impuls yang tertahan tertransformasikan menjadi kecemasan yang bersifat neurotis. Selanjutnya Freud menyajikan pengertian baru atas konsep kecemasan neurotisnya, dimana hal itu dibaca sebagai buah ketakutan akan akibat yang bakal diterima jika suatu kebutuhan atau keinginan dituruti. Jenis kecemasan lainnya adalah kecemasan obyektif (objective anxiety) yang muncul sebagai akibat dari reaksi ego terhadap bahaya yang bersifat eksternal, seperti takut kepada harimau dsj. Ada juga yang diistilahkan sebagai kecemasan moral (moral anxiety) yang terjadi karena takut hukuman atau perasaan bersalah dan malu karena gagal mematuhi standar moral atau perilaku yang ada.
Mekanisme bertahan (defense mechanism) sebagai strategi yang sekalipun tak tersadari berguna untuk menjaga ego dari kecemasan, memiliki beberapa bentuknya. Salah satunya yang terpenting adalah represi (repression), dimana impuls atau pikiran yang tak terpenuhi oleh ego ditekan kedalam ranah ketidaksadaran. Bentuk-bentuk lainnya adalah projection, displacement, reaction formation, regression, dan rationalization. Terapi psikoanalitis berusaha menghilangkan represi-represi tersebut dan berusaha membantu pasiennya menghadapi konflik masa lalunya dan mengatasinya di bawah terang realitas kedewasaan.
Behavioral or learning paradigms muncul ketika John B. Watson memproklamirkan psikologi sebagai disiplin keilmuan yang harus didekati secara obyektif eksperimental. Maka dimulailah berbagai eksperimentasi untuk menyelidiki ‘aspek pembelajaran’ dari perilaku di atas teori S-R (stimulus – respon). Terdapat beberapa model eksperimentasi ‘aspek pembelajaran’ dari perilaku, antara lain: classical conditioniong dari Ivan Pavlov (1849-1936), operant conditioning dari Edward Thorndike (1874-1949) dengan the law of effect-nya yang nanti dikembangkan lebih jauh oleh Burrhus Frederick Skinner dengan reinforcement-nya, dan modeling yang dieksperimentasikan oleh Bandura dan Menlove yang kemudian menguatkan teori mediasi dalam pembelajaran (mediational learning paradigms).
Psikologi kognitif fokus pada bagaimana seseorang menstrukturkan pengalamannya, bagaimana mereka menjadi menyadarinya, dan mentransformasikan rangsangan kedalam informasi yang berguna. Kognisi sendiri adalah terma yang merujuk pada proses-proses mental seperti perceiving, recognizing, conceiving, judging, dan reasoning. Seseorang menyematkan setiap informasi baru kedalam jaringan terorganisir dari akumulasi pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya yang biasa disebut sebagai schema. Perbedaan mendasar pandangan kognitif dari pemikiran analisis mediasional adalah terletak pada aspek interpretasi aktif. Jika kelompok mediasi melihat stimulus secara otomatis menghasilkan respon mediasional internal, maka kelompok kognitif memandang minor peran dari reinforcement. Mereka justru percaya bahwa seseorang secara aktif menginterpretasikan stimulus dari lingkungannya dan termasuk bagaimana ia mentransformasikannya untuk mempengaruhi perilaku. Para terapis kognitif berupaya merubah proses berfikir pasien-pasiennya untuk membantu mereka mengubah emosi dan perilakunya. Beberapa pola terapi telah diperkenalkan tokoh-tokohnya dalam hal ini, seperti: cognitive restructuring dari Davison, rational-emotive dari Albert Ellis, dan selectively abstract dari Aaron Beck.
Abraham Maslow (1908-1970) menyajikan pandangan psikologi humanistik yang mengakui individu sebagai makhluk yang pada dasarnya positif, sehat, unik, aktif, penuh potensi, bertujuan, dan baik. Dan segala kepedihan manusia berawal dari penolakan terhadap semua kebajikan yang dimilikinya tersebut. Paradigma humanistik meyakini bahwa terapis seharusnya membantu seseorang untuk menemukan diri mereka sendiri dengan sepenuh perasaan, dan membantunya belajar mengekspresikan dirinya tanpa terbebani apa yang orang lain fikirkan tentangnya. Pola terapi yang dikembangkan dalam tradisi ini adalah client-centered dari Carl Rogers. Inti dari pola ini adalah pengembangan aspek penerimaan dan penghargaan serta empati terhadap perasaan dan tindakan klien.
Implikasi paling penting dari paradigma adalah pengaruhnya terhadap cara seorang peneliti mencari jawaban atas suatu persoalan yang ada. Yang jelas, hingga kini definisi tentang keabnormalan masih saja muncul beragam, mencakup: statisctical rarity, subjective distress, disability, dan norm violations. Lepas darimana yang paling memuaskan, para psikopatologis dapat memakai definisi mana yang paling tepat untuk kajian mereka.
Source:
Gerald C. Davison & John M. Neale. Abnormal Psychology. New York: John Wiley & Sons, 1990.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar