Total Tayangan Halaman

Minggu, 17 Juli 2011

MEMBANGUN JATI DIRI BANGSA MELALUI PENDIDIKAN

Pendahuluan
Perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara yang dialami Negara Kesatuan Republik Indonesia, akhir-akhir ini mengalami kemunduran yang parah. Hal ini diperparah oleh krisis yang dialami oleh Indonesia yang sangat multi dimensional dan saling kait mengait. Krisis ekonomi yang tidak kunjung henti berdampak pada krisis sosial dan politik, yang pada perkembangannya justru menyulitkan upaya pemulihan ekonomi. Konflik horizontal dan vertikal yang terjadi dalam kehidupan sosial merupakan salah satu akibat dari semua krisis yang terjadi, yang tentu akan melahirkan ancaman dis-integrasi bangsa.[1] Apalagi bila melihat bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang plural seperti beragamnya suku, budaya daerah, agama, dan berbagai aspek politik lainnya, serta kondisi geografis negara kepulauan yang tersebar.[2] Semua ini mengandung potensi konflik (latent sosial conflict) yang dapat merugikan dan mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa.

Dewasa ini, dampak krisis multi-dimensional ini telah memperlihatkan tanda-tanda awal munculnya krisis kepercayaan diri (self-confidence) dan rasa hormat diri (self-esteem) sebagai bangsa. Berbagai peristiwa dan kejadian yang ”memalukan” harkat dan martabat bangsa di mata negara-negara lain dan dunia internasional, memperlihatkan bahwa bangsa Indonesia sudah mencapai taraf krisis jatidiri bangsa atau krisis identitas sebagai bangsa.[3] Bahkan terhadap wilayah dan teritorialnya sendiri, Bangsa Indonesia terlihat sepertinya sudah tidak memiliki kedaulatan dan kemampuan untuk mengelola dan mempertahankan wilayah dan teritorialnya.[4] Kasus terakhir yang kemudian membuat geram bangsa Indonesia, adalah pada saat negara-negara tetangga kita, yang mulai ”berani” untuk berusaha merebut kekayaan alam secara ilegal, bahkan merebut kekayaan budaya dan seni yang diturunkan oleh leluhur bangsa Indonesia, dan ironisnya seolah-olah bangsa Indonesia tidak mempunyai bargaining position yang jelas dan berani untuk men-counter itu semua.[5]

Di samping itu, timbul pertanyaan: mengapa akhir-akhir ini jati diri bangsa atau yangs sering disebut nation character, banyak dipersoalkan. Apabila kita coba mendalaminya, menangkap berbagai ungkapan masyarakat, terutama dari kalangan cendekiawan dan pemuka masyarakat, memang mungkin ada hal yang menjadi keprihatinan. Pertama, ada kesan seakan-akan jati diri dan semangat kebangsaan telah menjadi dangkal atau tererosi terutama di kalangan generasi muda–seringkali disebut bahwa sifat materialistik mengubah idealisme yang merupakan jiwa kebangsaan. Jati diri bangsa yang merupakan sumber dan dasar dari jiwa kebangsaan sedikit banyak sudah mulai luntur dan tereduksi oleh sifat-sifat materialistik Kedua, ada kekhawatiran ancaman disintegrasi kebangsaan, dengan melihat gejala yang terjadi di berbagai negara, terutama yang amat mencekam adalah perpecahan di Yugoslavia, di bekas Uni Soviet, dan juga di negara-negara lainnya seperti di Afrika, dimana paham kebangsaan merosot menjadi paham kesukuan atau keagamaan. Ketiga, ada keprihatinan tentang adanya upaya untuk melarutkan pandangan hidup bangsa ke dalam pola pikir yang asing untuk bangsa ini.

Berawal dari persoalan mendasar mengenai krisis multi dimensi yang mengakibatkan krisis jati diri bangsa dalam kaitannya dengan keterpurukkan bangsa Indonesia, maka tulisan ini mencoba membedah dan mendekonstruksi ulang mengenai pembentukkan jati diri bangsa (nation and character building) melalui pendidikan.

Landasan dan Konsep National Character Building
Para founding fathers memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dengan tujuan umum adalah mengubah sistem feodalistik dan sistem kolonialis menjadi sistem modern dan sistem demokrasi.[6] Kemerdekaan menurut Sukarno adalah “jembatan emas” menuju cita-cita demokrasi, sedangkan pembentukan jati diri bangsa (nation character building) dilakukan di dalam prosesnya. Kalau pada suatu saat Sukarno menyatakan bahwa, “revolusi belum selesai,” maka dalam konteks “nation and character building,” pernyataan demikian dapat dimengerti. Artinya, baik “nation” maupun “character” yang dikehendaki sebagai bangsa merdeka belum mencapai standar yang dibutuhkan. Maka dalam hubungan jati diri bangsa (nation and character building) seperti yang diuraikan di atas, beberapa hal berikut terkandung di dalam gagasan awalnya:
· Pertama, Kemandirian (self-reliance), atau menurut istilah Presiden Soekarno adalah “Berdikari” (berdiri di atas kaki sendiri). Dalam konteks aktual saat ini, kemandirian diharapkan terwujud dalam percaya akan kemampuan manusia dan penyelenggaraan Republik Indonesia dalam mengatasi krisis-krisis yang dihadapinya.
· Kedua, Demokrasi (democracy), atau kedaulatan rakyat sebagai ganti sistem kolonialis. Masyarakat demokratis yang ingin dicapai adalah sebagai pengganti dari masyarakat warisan yang feodalistik. Masyarakat di mana setiap anggota ikut serta dalam proses politik dan pengambilan keputusan yang berkaitan langsung dengan kepentingannya untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran.
· Ketiga, Persatuan Nasional (national unity). Dalam konteks aktual dewasa ini diwujudkan dengan kebutuhan untuk melakukan rekonsiliasi nasional antar berbagai kelompok yang pernah bertikai ataupun terhadap kelompok yang telah mengalami diskriminasi selama ini.
· Keempat, Martabat Internasional (bargaining positions). Indonesia tidak perlu mengorbankan martabat dan kedaulatannya sebagai bangsa yang merdeka untuk mendapatkan prestise, pengakuan dan wibawa di dunia internasional. Sikap menentang hegemoni suatu bangsa atas bangsa lainnya adalah sikap yang mendasari ide dasar “nation and character building.” Bung Karno menentang segala bentuk “penghisapan suatu bangsa terhadap bangsa lain,” serta menentang segala bentuk “neokolonialisme” dan “neoimperialisme.” Indonesia harus berani mengatakan “tidak” terhadap tekanan-tekanan politik yang tidak sesuai dengan “kepentingan nasional” dan “rasa keadilan” sebagai bangsa merdeka

Boleh jadi persoalan-persoalan yang kita hadapi saat ini berawal dari kesalahan dalam menghayati dan menerapkan konsep awal “kebangsaan” yang menjadi fondasi ke-Indonesia-an. Kesalahan inilah yang dapat menjerumuskan Indonesia, seperti yang ditakutkan Sukarno, “menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa.” Bahkan, mungkin yang lebih buruk lagi dari kekuatiran Sukarno, “menjadi bangsa pengemis dan pengemis di antara bangsa-bangsa”.[7]
Indonesia sejak kemerdekannya pada tahun 1945 sudah dibidik Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya, agar masuk lingkaran kekuasaannya. Bagaimana cara Negara adikuasa ini mempengaruhi Indonesia dilakukan dengan berbagai metode. Metode yang paling umum adalah dengan memberikan bantuan ekonomi. Berbagai fasilitas-fasilitas yang menggiurkan ditawarkan para elit Washington. Akan tetapi Soekarno yang sangat nasionalistik tidak tergiur dengan tawaran-tawaran tersebut. Soekarno dengan lantang menolak tawaran-tawaran tersebut dengan idiomnya yang terkenal “go to hell with your aid”. Hingga akhir-akhir kekuasaannya, Soekarno terus lantang menolak bantuan-bantuan asing.

Soekarno sangat sadar ekses negatif dari hutang luar negeri, ia berpendapat bahwa bantuan luar negeri, teknologi, mesin dan lain-lain instrument yang canggih dari negara-negara kapitalis itu tidak salah. Akan tetapi jangan sampai mengendalikan Indonesia. Indonesia boleh memanfaatkan hal-hal tersebut, apabila sikap mental dan karakter Indonesia sudah kuat, itu dalih mengapa Soekarno mendahulukan pembangunan karakter, politik, bangsa dengan idiomnya “character and nation building”. Dengan gempuran yang terus menerus dari kekuatan kapitalis, khususnya Amerika Serikat bersama-sama orang Indonesia sendiri yang tidak sejalan dengan Soekarno melakukan penggulingan terhadap Soekarno. Soekarno pun jatuh yang akhirnya digantikan dengan Soeharto yang merubah dengan drastis kebijakan ekonomi politik.

Kebijakan ekonomi politik yang ditempuh Soeharto sungguh bertolak belakang dengan kebijakan sebelumnya. Kalau Soekarno sangat anti modal asing dan hutang luar negeri, Soeharto sebaliknya, membuka pintu lebar-lebar untuk modal asing dan hutang luar negeri. Di bawah rezim Soeharto disusun pola ekonomi politik “pembangunan ekonomi”. Pembangunan ekonomi yang titik sentralnya adalah “pertumbuhan”. (Growth, atau GNP/GDP). Ukuran keberhasilannya adalah “presentasi”, semakin tinggi presentasinya semakin baik pertumbuhan ekonominya. PBB telah membuat tolok ukur keberhasilan itu adalah 5% ke atas. Jika GNP/GDP-nya telah mencapai 5% dianggap telah berhasil.[8]

National Character Building dan Wawasan Kebangsaan
Rasa kebangsaan adalah kesadaran berbangsa, yakni rasa yang lahir secara alamiah karena adanya kebersamaan sosial yang tumbuh dari kebudayaan, sejarah, dan aspirasi perjuangan masa lampau, serta kebersamaan dalam menghadapi tantangan sejarah masa kini. Dinamisasi rasa kebangsaan ini dalam mencapai cita-cita bangsa berkembang menjadi wawasan kebangsaan, yakni pikiran-pikiran yang bersifat nasional dimana suatu bangsa memiliki cita-cita kehidupan dan tujuan nasional yang jelas. Berdasarkan rasa dan paham kebangsaan itu, timbul semangat kebangsaan atau semangat patriotisme.

Wawasan kebangsaan mengandung pula tuntutan suatu bangsa untuk mewujudkan jati diri, serta mengembangkan perilaku sebagai bangsa yang meyakini nilai-nilai budayanya, yang lahir dan tumbuh sebagai penjelmaan kepribadiannya. Rasa kebangsaan bukan monopoli suatu bangsa, tetapi ia merupakan perekat yang mempersatukan dan memberi dasar keberadaan (raison d’entre) bangsa-bangsa di dunia. Dengan demikian rasa kebangsaan bukanlah sesuatu yang unik yang hanya ada dalam diri bangsa kita karena hal yang sama juga dialami bangsa-bangsa lain.

Bagaimana pun konsep kebangsaan itu dinamis adanya. Dalam kedinamisannya, antar-pandangan kebangsaan dari suatu bangsa dengan bangsa lainnya saling berinteraksi dan saling mempengaruhi. Dengan benturan budaya dan kemudian bermetamorfosa dalam campuran budaya dan sintesanya, maka derajat kebangsaan suatu bangsa menjadi dinamis dan tumbuh kuat dan kemudian terkristalisasi dalam paham kebangsaan.[9]

Paham kebangsaan berkembang dari waktu ke waktu, dan berbeda dalam satu lingkungan masyarakat dengan lingkungan lainnya. Dalam sejarah bangsa-bangsa terlihat betapa banyak paham yang melandaskan diri pada kebangsaan. Ada pendekatan ras atau etnik seperti Nasional-Sosialisme (Nazisme) di Jerman, atas dasar agama seperti dipecahnya India dengan Pakistan, atas dasar ras dan agama seperti Israel-Yahudi, dan konsep Melayu-Islam di Malaysia, atas dasar ideologi atau atas dasar geografi atau paham geopolitik, seperti yang dikemukakan Bung Karno pada pidato 1 Juni 1945.[10]

“Seorang anak kecil pun, jikalau ia melihat peta dunia, ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau diantara 2 lautan yang besar; Lautan Pasifik dan Lautan Hindia, dan di antara 2 benua, yaitu Benua Asia dan benua Autralia. Seorang anak kecil dapat mengatakan, bahwa pulau-pulau Jawa, Sumatera, Borneo, Selebes, Halmahera, kepulaua Sunda Kecil, Maluku, dan lain-lain pulau kecil di antaranya, adalah satu kesatuan.”

Terhadap pernyataan itu, Bung Hatta tidak sepenuhnya sependapat, terutama mengenai pendekatan geopolitik itu :[11]

“Teori geopolitik sangat menarik, tetapi kebenarannya sangat terbatas. Kalau diterapkan kepada Indonesia, maka Filipina harus dimasukkan ke daerah Indonesia dan Irian Barat dilepaskan; demikian juga seluruh Kalimantan harus masuk Indonesia. Filipina tidak saja serangkai dengan kepulauan kita.”

Menurut Hatta memang sulit memperoleh kriteria yang tepat apa yang menentukan bangsa. Bangsa bukanlah didasarkan pada kesamaan asal, persamaan bahasa, dan persamaan agama. Menurut Hatta
“bangsa ditentukan oleh sebuah keinsyafan sebagai suatu persekutuan yang tersusun jadi satu, yaitu keinsyafan yang terbit karena percaya atas persamaan nasib dan tujuan. Keinsyafan yang bertambah besar oleh karena sama seperuntungan, malang yang sama diderita, mujur yang sama didapat, oleh karena jasa bersama, kesengsaraan bersama, pendeknya oleh karena peringatan kepada riwayat bersama yang tertanam dalam hati dan otak.”[12]

Pengertian tentang rasa dan wawasan kebangsaan tersebut di atas sebenarnya merupakan pandangan generik yang menjelaskan bahwa rasa dan wawasan lahir dengan sendirinya di tengah ruang dan waktu seseorang dilahirkan. Tidak salah bila pandangan generik itu mengemukakan pentingnya menumbuhkan semangat kejuangan, rasa kebanggaan atas bumi dan tanah air dimana seseorang dilahirkan dan sebagainya.

Wawasan kebangsaan merupakan jiwa, cita-cita, atau falsafah hidup yang tidak lahir dengan sendirinya. Ia sesungguhnya merupakan hasil konstruksi dari realitas sosial dan politik (sociallyand politicallyconstructed).[13] Pidato Bung Karno atau perhatian Hatta mengenai wawasan kebangsaan adalah bagian penting dari konstruksi elit politik terhadap bangunan citra (image) bangsa Indonesia. Apa pun perbedaan pandangan elit tersebut, persepsi itu telah membentuk kerangka berpikir masyarakat tentang wawasan kebangsaan.

Mengadopsi pemikiran Talcott Parsons[14] mengenai teori sistem, wawasan kebangsaan dapat dipandang sebagai suatu falsafah hidup yang berada pada tataran sub-sistem budaya Dalam tataran ini wawasan kebangsaan dipandang sebagai ‘way of life’ atau merupakan kerangka/peta pengetahuan yang mendorong terwujudnya tingkah laku dan digunakan sebagai acuan bagi seseorang untuk menghadapi dan menginterpretasi lingkungannya. Jelaslah, bahwa wawasan kebangsaan tumbuh sesuai pengalaman yang dialami oleh seseorang, dan pengalaman merupakan akumulasi dari proses tataran sistem lainnya, yakni sub-sistem sosial, sub-sistem ekonomi, dan sub-sistem politik.

Aktualisasi National Character Building Melalui Pendidikan
Pendidikan adalah sarana yang paling utama dan tepat dalam membangun watak dan karakter bangsa. Sebab, dalam institusi inilah, seseorang menghabiskan waktu paling banyak untuk internalisasi nilai-nilai, baik melalui afeksi, kognitif dan psikomotoriknya. Seseorang yang mengenyam pendidikan, menghabiskan waktu kurang lebih 8 jam sehari selama hampir puluhan tahun untuk mendapatkan Ijazah SLTA, apalagi jika dia Sarjana, Pasca Sarjana, atupun Doktoral, pastilah lebih banyak lagi waktu yang dihabiskan dalam usaha mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Oleh karenanya internalisasi nilai-nilai watak dan karakter bangsa adalah sangat penting dalam rangka membangun national character building.[15]

Menurut penulis, pendidikan yang ditanamkan sejak dini, sudah harus memperkenalkan rasa kecintaan atau wawasan kebangsaan terhadap tanah air dan bangsa serta mengajarkan kemandirian sebagai seorang manusia Indonesia. Pendidikan yang membentuk national character building, adalah pendidikan yang tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu secara kuantitatif semata. Karena national character building tidaklah dibangun diatas angka-angka hasil pembangunan ekonomi semata, namun lebih dari itu, national character building dibangun diatas suatu pendidikan yang menekankan watak, yang tidak bisa hanya dilakukan dengan mengajarkan ilmu-ilmu kuantitatif saja.

Kecenderungan type pendidikan seperti ini sudah sangat kelihatan dalam kurikulum pendidikan di Indonesia akhir-akhir ini. Siswa jaman sekarang hanya di internalisasikan ilmu-ilmu kuantitatif, bahkan pada ilmu sosial pun studinya sudah mengarah kuantitatif, sehingga yang dikejar adalah generalisasi angka-angka yang justru tidak menunjukkan progressifitas watak dan ilmu. Kajian-kajian yang dipakai dalam Ilmu Ekonomi, misalnya, adalah kajian-kajian yang memakai pendekatan dan perspektif statistik semata. Hanya menghitung kemajuan dari segi presentase dan keunggulan dari segi kemajuan angka-angka statistik yang berhasil diraih. Sementara kajian dari segi kualitatif yang akan memperlihatkan sisi lain dari kemajuan, lengkap dengan kritik dan otokritik yang membangun semakin ditinggalkan.

Ilmu Politik juga demikian, yang sekarang populer adalah Ilmu-ilmu praktis mengenai cara dan strategi memenangkan calon pemimpin yang akan dipilih dalam pemilu dengan cara menggalang dukungan dan hitung-menghitung secara kuantitatif melalui survei dan jajak pendapat yang nantinya akan berguna untuk bisa memenangkan calon pemimpin. Sehingga jaman sekarang, lembaga-lembaga survei adalah tempat favorit para calon pemimpin dalam menggalang dukungan menjadi pemimpin. Ini yang kemudian menimbulkan pemimpin ”karbitan” yang bisa mengumpulkan suara dan coblosan yang paling banyak, dengan metode pencitraan dan mobilisasi massa atau model kampanye yang menyentuh masyarakat namun hanya sesaat saja. Akan sangat sulit menemui pemimpin yang memang benar-benar berasal dari rakyat, berjuang bersama rakyat, besar bersama rakyat dan tahu kebutuhan dan keluhan rakyat. Akan sangat sulit mendapatkan pemimpin sekaliber Soekarno, Hata, Syahrir, Natsir pada jaman dimana tolok ukur yang dipakai adalah tolok ukur angka dan kuantitatif. Sehingga menjadikan pemilu yang sedianya untuk memilih pemimpin selama beberapa tahun, hanya sekedar seperti kontes pencarian bakat dengan menggunakan polling sms atau telepon.

Yang paling parah dalam dunia pendidikan adalah metode kuantitatif atau angka yang dipakai untuk menentukan kelulusan seorang siswa dari sekolahnya. Artinya murid tersebut akan dinyatakan lulus, jika dia berhasil mencapai angka tertentu dari beberapa mata pelajaran tertentu yang harus dicapai jika dia ingin lulus.[16] Aspek afeksi dan psikomotorik tidak diperhitungkan lagi dalam mengukur seorang siswa lulus atau tidak lulus. Padahal berbicara pendidikan, berhasilnya pendidikan bukan hanya ditentukan pencapaian angka-angka pada mata pelajaran tertentu saja, namun seharusnya membawa anak didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, akhirnya kepengamalan nilai secara nyata atau psikomotorik. Dari genosis sampai ke praksis, istilah pedagogiknya. Oleh karena itulah Soekarno sangat mendukung dengan dimasukkannya unsur-unsur budaya, olahraga dan kesenian dalam kurikulum pendidikan. Sebab dalam mata pelajaran itu, siswa diberi kebebasan untuk mengekspresikan dirinya dan bahkan mengajarkan rasa sportifitas, kejujuran, pantang menyerah, dan tidak takut kalah yang akan membentuk watak dan mentalitas bangsa menjadi bangsa yang kuat. Pendidikan jaman sekarang hanya direduksi sampai dengan praktek di dunia kerja hanya untuk mencari kerja. Atau banyak yang mengatakan instant.

Kritik kepada metode pendidikan kita juga ditujukan pada formulasi metode pendidikan. Pendidikan karakter hanya diformulasikan menjadi pelajaran agama, pelajaran kewarganegaraan, atau pelajaran budi pekerti, yang programutamanya ialah pengenalan nilai-nilai secara kognitif semata. Paling-paling mendalam sedikit sampai ke penghayatan nilai secara afektif. Pada pelajaran agama, yang diinternalisasikan hanya berupa ajaran-ajaran agama dan ritual-ritual dalam agama semata. Sementara dalam pelajaran budi pekerti, hanya diinternalisasikan hanya nilai-nilai yang baik-buruk, bagaimana bersikap dan bertingkah laku yang baik, sopan dan beradab, sementara sampai sejauh mana internalisasi nilai itu diimplementasikan, sama sekali bukan urusan pendidikan. Pada pelajaran kewarganegaraan lebih parah lagi, karena yang dilakukan hanya ”mengajarkan” tentang gambaran negara Indonesia, konsep-konsep geopolitik dan kebijakan Indonesia serta hak asasi warga negara, namun sama sekali tidak ada aspek psikomotoriknya, apakah kemudian pendidikan kewarganegaraan berhasil menjadikan anak didik lebih nasionalis dan mencintai negara bangsanya atau tidak itu juga bukan urusan pendidikan. Menurut Mochtar Buchori dikatakan bahwa:
Untuk sampai ke praksis, ada satu peristiwa batin yang amat pentingyang harus terjadi dalam diri anak, yaitu munculnya keinginan yangsangat kuat (tekad) untuk mengamalkan nilai. Peristiwa ini disebutconatio. Dan langkah untuk membimbing anak membulatkan tekad inidisebut langkah konatif. Jadi dalam pendidikan watak, urut-urutan langkah yang harus terjadi ialah langkah pengenalan nilai secara kognitif, langkah memahami dan menghayati nilai secara afektif, dan langkah pembentukan tekad secara konatif. Ini trilogi klasik pendidikan. Oleh Ki Hajar diterjemahkan dengan kata-kata cipta, rasa, karsa.[17]

Maka dari itu, penting rasanya untuk menggagas kembali pendidikan kita sebagai wahana nation and character building. Pengejawantahan tersebut haruslah sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia sehingga mampu membenahi karakter yang sudah ada dan memberinya warna baru. Karakter bangsa Indonesia yang paling menonjol adalah hubungan interpersonal yang baik antara sesama warga negaranya. Karakteristik ini kurang terbangun dan terberdayakan di pendidikan kita yang cenderung menggunakan sistem yang kaku dan rigid. Hal ini tentunya mengakibatkan keberjalanannya pun menjadi hambar. Kekurangan hal ini pulalah yang mengakibatkan sering pula terjadi tawuran antarsekolah, sebab para siswa tidak merasa bahwa sekolah adalah rumah keduanya karena hambarnya hubungan interpersonal antara pendidik dan peserta didiknya.[18]


Satu aspek penting dalam revitalisasi pendidikan sebagai wahana pembangunan bangsa dan pembentukan karakternya adalah keselarasannya dengan potensi bangsa sendiri. Hal ini adalah hal esensial sebab memuat pengetahuan dasar dalam wawasan kewilayahan bangsa. Ini adalah hal yang mutlak harus terintegrasi sehingga potensi bangsa bisa terberdayakan dan pembangunan bangsa berjalan ke arah takdir bangsa tersebut. Mustahil kita membangun bangsa yang kita sendiri pun tidak tahu potensinya secara geografis. Contohnya, bangsa Jepang, secara geografis mereka tidak memiliki kekayaan alam yang melimpah, maka pemerintah mengarahkan pendidikannya kearah industry dan teknologi rekayasa. Dan takdir Jepang pun menemui momennya. Indonesia pun seharusnya mampu melihat peluang yang terkandung dalam kekayaan alam dan lautnya sehingga pendidikan tinggi dan professional nantinya akan diarahkan kesana. Salah satu hal yang menjadi kekhawatiran kalangan pendidik adalah banyaknya lulusan sarjana yang tidak berkompeten dalam bidangnya. Betapa banyaknya insinyur-insinyur pertanian, peternakan yang justru malah lebih tergiur dan bekerja di Bank, kantor-kantor kredit, swasta dan sebagainya. Padahal mereka dididik dan dibentuk untuk membangun sistem pertanian dan peternakan yang mampu menopang ketahanan pangan bangsa ini. Tidak heran, jika kemudian bangsa Indoensia mengalami krisis pangan dan keterbelakangan modernisasi pertanian dan peternakan, sebab generasi muda yang seharusnya meneruskan menjadi petani dan peternak modern dengan ilmu mutakhir yang dikuasainya, justru tidak mau dan gengsi menjadi petani atau peternak.[19]

Satu aspek paling penting dalam membangun pendidikan sebagai wahana character and nation building adalah pendidikan yang murah. Hal ini dimaksudkan agar pendidikan dapat dinikmati seluruh elemen bangsa sehingga kader–kader bangsa yang cakap tidak terbunuh. Ketika berbicara tentang pendidikan murah (apalagi gratis) sepintas hanya terasa seperti bermimpi. Namun apabila komitmen pemerintah kuat untuk mewujudkannya, pastinya hal ini bukan mustahil terlaksana, karena sebenarnya UUD 1945 sebagai sebuah konstitusi dan perjanjian dalam masyarakat Indonesia, sudah memberikan jaminan terhadap berlangsungnya pendidikan yang sebenarnya harus dilakukan dengan biaya yang murah dan terjangkau. Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 sebenarnya sudah memberikan jaminan pembiayaan terhadap pendidikan:
Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

Meskipun hanya dua puluh persen dari APBN dan APBD namun sebenarnya jaminan konstitusionalisme ini sangat penting, mengingat bahwa tidak ada negara yang maju tanpa adanya pendidikan yang dapat dinikmati oleh semua warga negara tanpa kecuali.
Terakhir, national character building harus dibangun melalui pendidikan yang menekankan aspek kemandirian dan rasa berdikari dalam setiap perilaku Warga Negara. Sehingga bangsa Indonesia tidak menjadi negara yang di jajah di era modern ini. Merdeka!

------------------------------







REFERENSI

Buku Literatur
Anderson, Bennedict, Imagined Community : Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, London: Verso, 1991.

Basari, Hasan/Bernhard Dahm, Sukarno dan perjuangan kemerdekaan, Jakarta : LP3ES, 1987.

Koirudin, Profil Pemilu 2004 Evaluasi Pelaksanaan, Hasil dan Perubahan Peta Politik Nasional Pasca Pemilu Legeslatif 2004, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005,

Parsons, Talcott. Toward a General Theory of action. New York : Harper & Row, 1951.

Swasono, Sri-Edi dan Fauzie Ridjal. Mohammad Hatta; Beberapa Pokok Pikiran, Jakarta : UI-Press, 1992.

Tjokrowinoto, Mulyarto, 1999, Konsep Pembangunan Nasional, Liberty, Yogyakarta.

Artikel Surat Kabar dan Internet

Andriyan, Dody Nur, ”Generasi Pertanian?” dalam www.dodynurandriyan.blogs.friendster.com.

Buchori, Mochtar, “Character Building” dan Pendidikan Kita, March 4, 2007 at 2:48 am, http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0607/26/opini/2836169.htm

Gonggong, Anhar dalam “Diskusi Terbatas,” “Perspektif Sejarah atas Demokrasi Indonesia,” 11 September 2002, di Bappenas, oleh Direktorat Politik, Komunikasi dan Informasi.

Kartasasmita, Ginandjar, “Pembangunan Nasional dan Wawasan Kebangsasn” Sarasehan Nasional Wawasan Kebangsaan di Jakarta, 9 Mei 1994.

http://www.beritabali.com/?reg=dps&kat=sb&s=news&id=200706040001

Undang-Undang
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 dan Amandemen I-IV Undang-Undang Dasar 1945
* Dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
[1] Masih segar dalam ingatan kita ada berbagai kasus terkait hal ini: sweeping dan kekerasan oleh kelompok tertentu terhadap kelompok lain, pemaksaan penutupan tempat-tempat ibadah oleh penganut Agama lain. Ancaman disintergasi dan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dideklarasikan oleh beberapa daerah.
[2] Indonesia terdiri dari lebih 13.000 pulau yang tersebar dan masing-masing pulau memiliki penduduk asli yang berbeda-beda antara satu pulau dengan pulau yang lain, hal ini membuktikan bahwa Indonesia memiliki banyak keragaman etnis, suku, dan adat istiadat. Lihat: Encarta encyclopedia edisi 2004.www.encarta.com. Sementara Pemilu Indonesia tahun 1955 diikuti oleh lebih dari 30 Partai Politik. Pemilu Tahun 1999 diikuti oleh 48 Partai Politik, dan terakhir Pemilu Tahun 2004 diikuti oleh 24 Partai Politik. Lihat: Koirudin, Profil Pemilu 2004 Evaluasi Pelaksanaan, Hasil dan Perubahan Peta Politik Nasional Pasca Pemilu Legeslatif 2004, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal 31.
[3] Kasus yang teraktual adalah bagaimana Warga Negara Indonesia yang bekerja di luar negeri, ternyata hanya menjadi buruh dan “budak modern” dari bangsa lain. Diperlakukan kasar dan menjurus dilecehkan bukan hanya personal, namun pelecehan sebagai warga negara Indonesia. Salah satu contoh lihat di website: http://www.indonmampus.com/ website yang beirisi hinaan dan celaan terhadap harkat dan martabat bangsa Indonesia baik personal maupun sebagai suatu entitas bangsa.
[4] Kasus Pulau Ambalat adalah contoh paling nyata. Sebuah Pulau yang berada di perbatasan antara Malaysia dan Indonesia, yang sebenarnya secara geografis dan hukum berada dalam lingkup kedaulatan Indonesia, namun karena salah kelola dan cenderung di abaikan, sehingga Malaysia bisa “masuk” untuk menguasai dan mengelola, sehingga ketika diklaim Malaysia Indonesia tidak mampu mempertahankan Pulau Ambalat.
[5] Kasus Singapura yang “mencuri” pasir atau tanah di beberapa pulau di perbatasan. Nelayan-nelayan asing yang berani masuk ke peraian Indonesia untuk mencuri Ikan, dan terakhir adalah Malaysia yang berani mengklaim lagu Rasa Sayange, Reog Ponorogo dan Batik sebagai kekayaan Seni dan Budaya Khas Malaysia.
[6]Anhar Gonggong dalam “Diskusi Terbatas,” “Perspektif Sejarah atas Demokrasi Indonesia,” 11 September 2002, di Bappenas, oleh Direktorat Politik, Komunikasi dan Informasi.

[7] Hubungan Indonesia dengan organisasi donor (IMF, CGI, World Bank, ADB) dan negara-negara pemberi pinjaman (AS, Jepang, EU), sudah mendekati hubungan antara “pengemis-pemberi sedekah.” Sikap dan perilaku demikian ini sangat bertentangan dengan gagasan dasar berdirinya Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Sikap ketergantungan yang terus-menerus atas bantuan asing (foreign assistance) sangat bertentangan dengan konsep awal “nation and character building”.
[8] Tjokrowinoto, Mulyarto, 1999, Konsep Pembangunan Nasional, Liberty, Yogyakarta.
[9] Pandangan mengenai wawasan kebangsaan ini dijelaskan secara generic oleh Ginandjar Kartasasmita dalam makalahnya yang berjudul “Pembangunan Nasional dan Wawasan Kebangsasn” yang disapaikan pada Sarasehan Nasional Wawasan Kebangsaan di Jakarta, 9 Mei 1994.
[10] Sukarno dan perjuangan kemerdekaan, diterj.oleh: Hasan Basari / Bernhard Dahm, Hasan Basari.-- Jakarta : LP3ES, 1987. Judul asli : Sukarno and the struggle for Indonesian
[11] Mohammad Hatta; beberapa pokok pikiran, disunting oleh Sri-Edi Swasono dan Fauzie Ridjal / Sri-Edi Swasono, Fauzie Ridjal.-- Jakarta : UI-Press, 1992.
[12] Loc cit.
[13] Bennedict Anderson, Imagined Community : reflections on the Origin and Spread of Nationalism, London: Verso, 1991.
[14] Parsons, Talcott. Toward a General Theory of action. New York : Harper & Row, 1951.
[15] Ketika Bung Karno mengucapkan kata-kata ini, rasanya diucapkan dalam konteks politik. Jadi yang dimaksud ialah watak bangsa harus dibangun. Tetapi ketika kata-kata ini diungkapkan oleh para pendidik, dari Ki Hajar Dewantara hingga Mohammad Said, konteksnya adalah pedagogik. Memoar Mochtar Buchori, “Character Building” dan Pendidikan Kita, March 4, 2007 at 2:48 am, http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0607/26/opini/2836169.htm
[16] Secara garis besar hanya ada tiga pelajaran yang dijadikan tolok ukur kelulusan, yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika. Jika salah satu dari ketiganya dibawah standar, maka tidak akan luluslah siswa tersebut. Demikian juga dengan standar angka kelulusan, yang hanya melihat ari segi kuantitatif, apalagi dengan model test pilihan ganda atau multiple choice yang bisa diakali dengan ikut les atau bimbingan singkat yang menawarkan metode dan cara praktis dalam mengakali dan menjawab test multiple choice tersebut.
[17] Mochtar Buchori, Loc. Cit.
[18] Pendidikan Finlandia adalah yang terbaik di dunia, mampu mencerdaskan peserta didiknya bahkan ke penyandang keterbelakangan mental sekalipun. Dan apabila dicermati, rahasia pendidikan Finlandia adalah perhatian yang lebih kepada aspek personal perserta didik dibandingkan dengan mengutak–atik system pendidikan. Lihat http://www.beritabali.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar